Wednesday, October 29, 2014

Tiger Parenting


Karena sekarang aku sudah punya anak mau tidak mau aku harus belajar soal parenting, topik yang berat dan tidak menarik, yang sebelumnya selalu aku hindari, apalagi aku orangnya paling malas membaca buku how to..

kekhawatiran terbesar adalah khawatir aku tidak bisa memberikan yang terbaik, khawatir tidak bisa menjadikannya orang yang sukses, khawatir karena dunia ini banyak godaan dan orang jahat yang dapat mencelakannya, dan sebagainya dan sebagainya.

Sebetulnya sebelum menikah dan punya anak, gara gara membaca reviewnya di majalah femina aku tertarik membaca buku yang judulnya Battle Hymne of the Tiger Mother. Bukan buku how-to walaupun di sampul bukunya tertulis sub judul 'cara membesarkan anak ala China'. Buku itu menurut penulisnya adalah pseudo-memoar pengalamannya membesarkan kedua anak perempuannya.

Begitu membaca halaman pertamanya saja, aku sudah terlarut. Tulisannya enak di baca dan seru sekali. Amy Chua mendidik anaknya dengan cara yang strict seperti cara orang tuanya mendidiknya dulu, yang tidak umum dilakukan oleh para orang tua barat di Amerika  di masa kini. Banyak yang berkomentar "wow..sadis bangeet" padahal menurut penulisnya "they just don't get the humor".

Sebelumnya aku pikir cara terbaik untuk mendidik anak saat ini adalah dengan memberikan anak kebebasan, banyak memberikan pujian, jangan banyak banyak bilang Jangan dan ternyata setelah membaca buku ini.. itu bukan cara yang paling tepat. Orang lain sih banyak yang protes tapi aku percaya sama Amy Chua.

Menurut Amy Chua anak dari SD sampai SMA itu adalah masa masanya di gembleng, dilatih untuk disiplin, di bekali kemampuan. Karena karakter itu paling mudah dibentuk di usia dini. Istilah Amy Chua tough-love parenting, penuh kasih sayang tapi keras. Amy Chua tidak memperbolehkan anaknya nonton TV, main game,menginap di rumah teman, ikut ekskul drama, ga boleh pacaran, nilai ngga boleh kurang dari A kecuali pelajaran olahraga,tidak boleh ikut ekskul drama (mirip di film dead poet society ya ;p).

Katanya kalau harus memilih antara kebahagiaan dan kesuksesan untuk anak anaknya, Amy chua lebih memilih kesuksesan untuk anaknya walaupun prakteknya tidak mudah. Inti dari tiger parenting, tough-love parenting menurut Amy Chua adalah mempercayai bahwa anak kita bisa melakukan lebih dari apa yang ia pikir dan orang lain pikir, membantu mereka menemukan potensi diri mereka. Tidak ada cara lain untuk membangun kepercayaan diri selain berhasil melakukan sesuatu yang kita pikir tidak bisa. Bukan pujian pujian kosong seperti yang dilakukan kebanyakan orang tua barat terhadap anaknya, seperti you're brilliant, you're amazing padahal anaknya tidak melakukan apa apa. You don't have to brilliant or amazing to be succesful, hard work just can fix everything.

Kalau orang Indonesia punya peribahasa 'bersakit sakit dahulu bersenang senang kemudian', Kalau kata Rasul 'gunakanlah masa lapangmu sebelum datang masa sempitmu' kalau istilah canggihnya 'the value of delayed gratification'. Kadang kita terlalu mengkhawatirkan kebahagiaan anak, tapi melupakan bagaimana caranya membangun kekuatan pada anak.

If in their early years we teach our children a strong work ethic, perseverance and the value of delayed gratification, they will be much better positioned to be self-motivated and self-reliant when they become young adults. This is a way to combine East and West: more structure when our children are little (and will still listen to us), followed by increasing self-direction in their teenage years.

Ada suatu kekhawatiran jika membesarkan anak dengan cara strict khawatir anaknya jadi stress dan bahkan mengalami kerusakan jiwa permanen lalu jadi psikopat. Kalo menurut Sophia, anaknya Amy Chua, ibunya memang keras tapi cintanya tetep unconditional alias tanpa syarat meski saat dia mengalami kegagalan. Menurut penelitian anak anak asia yang dibesarkan dengan strict justru merasa sangat berhutang pada ibunya yang sudah mendorongnya untuk mencapai kesuksesan.

Amy chua nulis buku ini pas anaknya yang besar di SMA dan anak keduanya di SMP di tahun 2011. Sekarang anaknya dua duanya kuliah di Harvard. Aku terkesan sama tulisannya Sophia di New York Times mengenai pendapat dia soal ibunya, Amy Chua. Bagian favoritku ;

"There’s one more thing: I think the desire to live a meaningful life is universal. To some people, it’s working toward a goal. To others, it’s enjoying every minute of every day. So what does it really mean to live life to the fullest? Maybe striving to win a Nobel Prize and going skydiving are just two sides of the same coin. To me, it’s not about achievement or self-gratification. It’s about knowing that you’ve pushed yourself, body and mind, to the limits of your own potential. You feel it when you’re sprinting, and when the piano piece you’ve practiced for hours finally comes to life beneath your fingertips. You feel it when you encounter a life-changing idea, and when you do something on your own that you never thought you could. If I died tomorrow, I would die feeling I’ve lived my whole life at 110 percent.
And for that, Tiger Mom, thank you."


Monday, October 6, 2014

Insecurity



Aku merasa seumur hidupku sering dihinggapi perasaan insecure, khawatir tidak menjadi orang yang sukses, pokoknya semacam perasaan perasaan seperti itu. Waktu SD contohnya aku merasa ngeri sekali kalau tidak naik kelas, waktu SMP khawatir tidak bisa masuk ke sekolah SMA favorit dan waktu SMA khawatir tidak bisa kuliah, khawatir tidak lulus ujian masuk perguruan tinggi, khawatir dengan masa depan yang tidak jelas. Waktu kuliah khawatir DO, khawatir susah mendapatkan pekerjaan yang bagus ketika lulus karena jurusan yang tidak populer dan sekarang pun dalam masih ada kekhawatiran kekhawatiran seperti itu walaupun menurutku masih dalam tahap wajar bukan paranoid.

Lalu kemarin kemarin tak sengaja baca review bukunya Amy Chua yang berjudul The Triple Package yang membeberkan mengapa kelompok kelompok minoritas tertentu berdasarkan etnis, kepercayaan agama dan asal negara seperti Kelompok keturunan Yahudi, Cina, Mormon, imigran Iran dan Libanon, Cuban American, Nigerian American dll di Amerika Serikat  cenderung lebih sukses di banding kelompok lain. Amy Chua melihat ada 3 persamaan karakter yang terdapat dalam kelompok-kelompok ini yaitu superiority complex - perasaan superior seperti yang dimiliki oleh orang Yahudi bahwa mereka percaya bahwa mereka adalah orang orang pilihan, people of law and intellect, dsb. Yang kedua yaitu insecurity - perasaan bahwa yang kita lakukan belum cukup, belum maksimal sehingga timbul perasaan khawatir akan hasil yang di dapat. dan yang terakhir yaitu impulse control - kemampuan untuk menahan diri dari godaan sehingga mampu menunda kesenangan saat ini untuk mendapatkan kesenangan yang lebih panjang di masa depan. Ketiga kombinasi ini -superiority complex, insecurity, impulse control- yang memicu kelompok kelompok ini lebih unggul dari yang lain.

Tetapi menurut Amy Chua  jika setiap aspek yang disebutkan berdiri masing masing  akan  menjadi sesuatu hal yang negatif, misalnya hanya memiliki superiority complex tanpa adanya insecurity bisa jadi membuat seseorang menjadi mudah puas dan tidak ada keinginan untuk membuat yang lebih baik dan tidak menyadari ada bahaya yang menanti. Insecurity dan impulse control yang berlebihan akan menghasilkan manusia yang paranoid tentunya. Jadi hanya dalam kombinasi satu dengan yang lainnya aspek aspek tersebut bisa menjadi pemicu kesuksesan. Hmmm rumit yah.


Mirip keturunan Tionghoa di Indonesia kan, dimana mereka jumlahnya minoritas, pilihan karir tidak banyak, kondisi yang  mengharuskan  mereka berusaha lebih keras di banding yang lain. Hasilnya pengusaha pengusaha sukses di Indonesia kebanyakan keturunan Tionghia. Lalu orang Padang juga memiliki karakteristik tersendiri yang khas dan terkenal yaitu hemat dan pelit  (maaf :p) , mirip impulse control - the ability to resist the temptation- dan banyak bermigrasi ke seluruh penjuru Indonesia sehingga sebagai minoritas didaerahnya tentu punya semacam perasaan insecure dan mereka banyak yang menjadi pedagang sukses. Kalau aku perhatikan juga dosen dosen di ITB banyak banget yang orang Padang.











Wednesday, October 1, 2014

Pengamat Abal - Abal

Edit note : Akhirnya pilihan gue No. 2 Jokowi menang. Tapi sayangnya beberapa saat setelah di lantik, Jokowi tidak menepati janjinya untuk tidak bagi bagi kursi. KPK jadi rombeng.  Kinerja mentri mentrinya payah. Dan gue mulai tidak nge fans sama Jokowi.


Setelah gonjang ganjing pemilu 2014 yang paling panas sepanjang sejarah, sepertinya orang Indonesia kini  mulai melek akan politik. Lalu kini setiap orang tidak sungkan lagi mengungkapkan pendapat atas isu isu yang terjadi terutama di social media, kadang membuat mereka tampak seperti pengamat politik karbitan.. (hehe). Sebagian ada yang risih tapi menurutku ini lebih baik daripada kita mempunyai masyarakat yang apatis. Apalagi pejabat pejabat, anggota DPR dkk di kita banyak yang diragukan integritasnya jadi harus senantiasa di awasi segala gerak geriknya.. haha

Ada wacana kalau demokrasi kita sudah kebablasan salah satu contohnya tawuran antara pendukung calon pemimpun daerah akibat pilkada langsung  tapi disisi lain kemudian bermunculan juga pemimpin pemimpin teladan berkat pilkada langsung. Tapi mungkin inilah perjalanan yang harus dilalui bangsa Indonesia dalam berdemokrasi untuk mencapai gaya demokrasi yang paling ideal bagi bangsa ini. Lagipula  tiap negara punya gaya masing masing dalam berdemokrasi.

Mentang-mentang China atau Singapur maju karena pemerintahnya otoriter lalu Indonesia harus ikut ikutan kayak gitu, ya susah juga. Apalagi rakyat Indonesia yang super bawel dan hobi menghujat pemerintah tiba tiba disuruh jadi pendiem pasti akan menimbulkan pergolakan yang luar biasa. Kecuali balik lagi ke jaman orba, pemerintahnya sadis, warga negara yang bandel dibina atau dibinasakan (sadiiss). Tapi pemerintah China dan Singapur biar otoriter mereka ngga suka korupsi, yang korupsi di hukum mati atau di penjara 100 tahun jadi ga ada yang berani coba coba. Tapi ya gitu kebebasan berpendapat warganya di batasi. Konon di Singapur warganya tidak bisa bebas seenak udel mengkritik pemerintah layaknya warga Indonesia membully Pak SBY setiap saat. Menurut pemerintahnya mereka begitu ya karena Singapur negaranya kecil ibarat naek perahu kecil ada penumpangnya yang nakal loncat loncat di atas perahu bisa bikin perahunya oleng atau kebalik, jadi stabilitas nasional harus senantiasa di jaga.

Alangkah indahnya jika bangsa Indonesia tetap memberikan kebebasan warganya untuk berpendapat, menyelenggarakan pilkada langsung, pemerintahnya amanah, anggota legislatifnya bener, rakyatnya makmur sejahtera (dan tetap bebas untuk menghujat pemerintah kalo ga bener hehe).

Ada juga sih segolongan yang menawarkan khilafah sebagai solusi atas segala permasalahan bangsa. Di jaman modern, sekuler dan majemuk begini rasanya sulit menerapkan khilafah. Aku juga kurang tertarik dengan ide ini. Soalnya aku membayangkan diriku berada di posisi minoritas,  tiba tiba sistem negara berubah jadi semacam khilafahnya Kristen misalnya, pasti akan sedikit menyusahkan karena orang yang memeluk agama tertentu akan diperlakukan secara superior, dan rasanya jadi tidak adil untuk penganut agama lain.