Karena sekarang aku sudah punya anak mau tidak mau aku harus belajar soal parenting, topik yang berat dan tidak menarik, yang sebelumnya selalu aku hindari, apalagi aku orangnya paling malas membaca buku how to..
kekhawatiran terbesar adalah khawatir aku tidak bisa memberikan yang terbaik, khawatir tidak bisa menjadikannya orang yang sukses, khawatir karena dunia ini banyak godaan dan orang jahat yang dapat mencelakannya, dan sebagainya dan sebagainya.
Sebetulnya sebelum menikah dan punya anak, gara gara membaca reviewnya di majalah femina aku tertarik membaca buku yang judulnya Battle Hymne of the Tiger Mother. Bukan buku how-to walaupun di sampul bukunya tertulis sub judul 'cara membesarkan anak ala China'. Buku itu menurut penulisnya adalah pseudo-memoar pengalamannya membesarkan kedua anak perempuannya.
Begitu membaca halaman pertamanya saja, aku sudah terlarut. Tulisannya enak di baca dan seru sekali. Amy Chua mendidik anaknya dengan cara yang strict seperti cara orang tuanya mendidiknya dulu, yang tidak umum dilakukan oleh para orang tua barat di Amerika di masa kini. Banyak yang berkomentar "wow..sadis bangeet" padahal menurut penulisnya
"they just don't get the humor".
Sebelumnya aku pikir cara terbaik untuk mendidik anak saat ini adalah dengan memberikan anak kebebasan, banyak memberikan pujian, jangan banyak banyak bilang Jangan dan ternyata setelah membaca buku ini.. itu bukan cara yang paling tepat. Orang lain sih banyak yang protes tapi aku percaya sama Amy Chua.
Menurut Amy Chua anak dari SD sampai SMA itu adalah masa masanya di gembleng, dilatih untuk disiplin, di bekali kemampuan. Karena karakter itu paling mudah dibentuk di usia dini. Istilah Amy Chua tough-love parenting, penuh kasih sayang tapi keras. Amy Chua tidak memperbolehkan anaknya nonton TV, main game,menginap di rumah teman, ikut ekskul drama, ga boleh pacaran, nilai ngga boleh kurang dari A kecuali pelajaran olahraga,tidak boleh ikut ekskul drama (mirip di film dead poet society ya ;p).
Katanya kalau harus memilih antara kebahagiaan dan kesuksesan untuk anak anaknya, Amy chua lebih memilih kesuksesan untuk anaknya walaupun prakteknya tidak mudah. Inti dari tiger parenting, tough-love parenting menurut Amy Chua adalah mempercayai bahwa anak kita bisa melakukan lebih dari apa yang ia pikir dan orang lain pikir, membantu mereka menemukan potensi diri mereka. Tidak ada cara lain untuk membangun kepercayaan diri selain berhasil melakukan sesuatu yang kita pikir tidak bisa. Bukan pujian pujian kosong seperti yang dilakukan kebanyakan orang tua barat terhadap anaknya, seperti
you're brilliant, you're amazing padahal anaknya tidak melakukan apa apa.
You don't have to brilliant or amazing to be succesful, hard work just can fix everything.
Kalau orang Indonesia punya peribahasa 'bersakit sakit dahulu bersenang senang kemudian', Kalau kata Rasul 'gunakanlah masa lapangmu sebelum datang masa sempitmu' kalau istilah canggihnya 'the value of delayed gratification'. Kadang kita terlalu mengkhawatirkan kebahagiaan anak, tapi melupakan bagaimana caranya membangun kekuatan pada anak.
If in their early years we teach our children a strong work ethic,
perseverance and the value of delayed gratification, they will be much
better positioned to be self-motivated and self-reliant when they become
young adults. This is a way to combine East and West: more structure
when our children are little (and will still listen to us), followed by
increasing self-direction in their teenage years.
Ada suatu kekhawatiran jika membesarkan anak dengan cara strict khawatir anaknya jadi stress dan bahkan mengalami kerusakan jiwa permanen lalu jadi psikopat. Kalo menurut Sophia, anaknya Amy Chua, ibunya memang keras tapi cintanya tetep unconditional alias tanpa syarat meski saat dia mengalami kegagalan. Menurut penelitian anak anak asia yang dibesarkan dengan strict justru merasa sangat berhutang pada ibunya yang sudah mendorongnya untuk mencapai kesuksesan.
Amy chua nulis buku ini pas anaknya yang besar di SMA dan anak keduanya di SMP di tahun 2011. Sekarang anaknya dua duanya kuliah di Harvard. Aku terkesan sama
tulisannya Sophia di New York Times mengenai pendapat dia soal ibunya, Amy Chua. Bagian favoritku ;
"There’s one more thing: I think the desire to live a meaningful life
is universal. To some people, it’s working toward a goal. To others,
it’s enjoying every minute of every day. So what does it really mean to
live life to the fullest? Maybe striving to win a Nobel Prize and going
skydiving are just two sides of the same coin. To me, it’s not about
achievement or self-gratification. It’s about knowing that you’ve pushed
yourself, body and mind, to the limits of your own potential. You feel
it when you’re sprinting, and when the piano piece you’ve practiced for
hours finally comes to life beneath your fingertips. You feel it when
you encounter a life-changing idea, and when you do something on your
own that you never thought you could. If I died tomorrow, I would die
feeling I’ve lived my whole life at 110 percent.
And for that, Tiger Mom, thank you."